Jumat, 11 April 2008

Menentukan Lokasi Tangkap Ikan dengan Kolaborasi Tiga Teknologi

untuk lebih jelasnya, lihat di: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0502/23/ipt02.html


Di Indonesia, perkembangan dan pemanfaatan teknologi khususnya pada industri kelautan dan perikanan masih kurang menggembirakan, hal ini dapat dilihat dari minimnya perusahaan sektor kelautan dan perikanan ini yang mampu melengkapi armada penangkapannya dengan peralatan berteknologi maju.
Sementara, nelayan Thailand, Filipina dan Malaysia dengan perangkat acoustic yaitu echosounder yang terpasang pada armada penangkapannya dan didukung informasi citra remote sensing (penginderaan jauh satelit), dapat mengetahui dengan jelas dan pasti posisi (koordinat) lintang-bujur kawanan ikan secara up to date, sehingga mereka bisa lebih dahulu mendapatkan sumber daya ikan, walaupun sampai masuk ke perairan kita. Sedangkan nelayan kita umumnya hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman.
Padahal, untuk mengatasi masalah tersebut scientist (peneliti) dan ahli teknologi bidang kelautan dan perikanan dengan dukungan pemerintah hanya perlu membangun satu instalasi bank data yang bekerja men-download citra dari satelit yang berisi data klorofil-a dan data parameter oseanografi (suhu, salinitas, arus, gelombang dan lain-lain) di perairan Indonesia, kemudian diolah menjadi peta estimasi (pendugaan) fishing ground (daerah penangkapan ikan) yang up to date. Selanjutnya peta estimasi tersebut langsung di-relay ke armada penangkapan.

Kolaborasi
Untuk keakuratan estimasi fishing ground, yang perlu dilakukan adalah mengkolaborasikan data acoustic, citra satelit remote sensing dan data oseanografi. adapun langkah dasarnya adalah: dengan metode remote sensing satelit, secara ex situ kita harus menemukan perairan yang memiliki klorofil-a (plankton). Langkah kedua adalah menganalisis hubungannya dengan data oseanografi (suhu, salinitas dan arus) yang juga didapatkan dari satelit dan instrumen oseanografi yaitu argo float. Kemudian hasil analisis data dari dua instrumen tersebut (satelit dan argo float) kemudian dibuat peta estimasi fishing ground yang up to date. Selanjutnya peta estimasi tersebut di-relay ke armada penangkapan, berbekal peta estimasi tersebut armada segera menuju lokasi yang telah diestimasi, lalu mengkolaborasikan peta tersebut dengan data acoustic yang didapatkan dengan echosounder secara in situ (langsung) pada perairan, kemudian dilakukan pemanfaatan (penangkapan) ikan.


Parameter oseanografi (data suhu, salinitas dan arus) sangat penting dianalisis untuk penentuan fishing ground. Nontji (1987) menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada umumnya. Sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken, 1988). Hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya, maka dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, kita dapat menduga keberadaan kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan (Hela dan Laevastu, 1970).
Salinitas adalah kadar garam seluruh zat yang larut dalam 1.000 gram air laut, dengan asumsi bahwa seluruh Karbonat telah diubah menjadi oksida, semua Brom dan Iod diganti dengan Khlor yang setara dan semua zat organik mengalami oksidasi sempurna (Forch et al., 1902 dalam Sverdrup et al., 1942). Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki kaitan erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, di mana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut.


Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan, Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan hubungan arus terhadap penyebaran ikan adalah: Arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dari spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan); migrasi ikan-ikan dewasa disebabkan arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami; tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan arus, khususnya arus pasut; arus secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa dan secara tidak langsung mempengaruhi pengelompokan makanan, atau faktor lain yang membatasinya (suhu); arus mempengaruhi lingkungan alami ikan, maka secara tidak langsung mempengaruhi kelimpahan ikan tertentu dan sebagai pembatas distribusi geografisnya. Jadi, dengan mengetahui nilai suhu, salinitas dan arus pada perairan, akan dapat dianalisis fenomena yang merupakan daerah potensi ikan.


Hydro Acoustic merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan suara atau bunyi untuk melakukan pendeteksian, sebagaimana diketahui bahwa kecepatan suara di air adalah 1.500 m/detik, sedangkan kecepatan suara di udara hanya 340 m/detik, sehingga teknologi ini sangat efektif untuk deteksi di bawah air. Teknologi hydro-acoustic dengan perangkat echosounder paling tepat digunakan untuk pendugaan stok ikan (fish stock assessment) pada suatu perairan, karena dapat memberikan informasi yang detail mengenai: kelimpahan ikan (fish abundance), kepadatan (fish density), sebaran (fish distribution), posisi kedalaman renang (swimming layers), ukuran dan panjang (size and length), orientasi dan kecepatan renang, serta variasi migrasi diurnal-noktural ikan (baca: Donwill Panggabean ”Hydro-Acoustic: Teknologi canggih untuk eksplorasi dan menunjang eksploitasi sumber daya kelautan serta perikanan.” Kompas
1/11/2004).


Remote Sensing biasa juga disebut Sistem Penginderaan Jauh merupakan suatu teknologi yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik untuk mendeteksi dan mengetahui karakteristik objek di permukaan bumi, baik daratan maupun permukaan laut dan perairan tanpa melakukan kontak langsung dengan objek yang diteliti tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1979).
Ada dua tipe Remote Sensing yaitu pasif dan aktif, dengan metode ini dihasilkan citra satelit yang merupakan data dari klorofil-a, arus, suhu dan posisi koordinat pada permukaan perairan yang dideteksi. Data citra dari satelit tersebut diproses dan dianalisis, kemudian dikolaborasikan dengan data acoustic dan data dari instrumen argo float untuk estimasi fishing ground.
Secara umum prinsip kerja satelit-satelit ini adalah dengan memancarkan pulsa gelombang elektromagnetik ke arah permukaan laut di bawahnya lalu menerima kembali pantulannya (remote sensing aktif). Waktu perjalanan gelombang elektromagnetik tersebut, dikonversi untuk mendapatkan jarak antara satelit dan muka laut. Sejumlah koreksi harus diterapkan terhadap data mentah, sebelum dapat diterapkan dalam bidang oseanografi.

Langkah Maju
Kini terbuka satu peluang untuk mewujudkan maksud dari uraian di atas, karena satu langkah maju telah dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP), dengan diresmikannya SEACORM (Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring) pada 31 Maret 2004 di Perancak-Bali. SEACORM merupakan instalasi yang didukung 16 institusi nasional, di mana instalasi ini melakukan riset, analisis data dan pemantauan sumber daya kelautan untuk memenuhi beberapa tujuan program kerja yang antara lain: (1) Fishing Ground Map; (2) National Marine Data Center; (3) Indonesia Fisheries Information Center; (4) Indonesia Marine Observing System dan lain-lain. Instalasi ini men-download data dari beberapa satelit, mengolah dan menganalisis untuk estimasi fishing ground, kemudian me-relay data berupa estimasi fishing ground yang up to date tersebut beserta posisi koordinatnya melalui satelit yang dapat di-download kembali oleh perusahaan perikanan dan dapat pula dimanfaatkan nelayan melalui faksimile (bila tidak tersedia internet).
Saat workshop argo float di instalasi SEACORM Bali pada 10/12/2004 lalu, dapat dirasakan suatu keinginan para scientist dan ahli kelautan untuk bekerja optimal dan menjadikan instalasi SEACORM sebagai bank data untuk estimasi fishing ground di Indonesia. Hal ini tentu saja sangat menggembirakan, semoga mereka dapat bekerja lebih keras untuk mewujudkan instalasi ini sesuai dengan tujuan awalnya, sehingga perusahaan perikanan dan nelayan kita dapat memanfaatkan sumber daya perikanan dengan optimal tanpa didahului nelayan asing.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Teknologi Kelautan IPB.

Tidak ada komentar: