Jumat, 11 April 2008

Peneliti Indonesia, Terjerembab di ”Rumah Sendiri”

Untuk lebih jelasnya, lihat di: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0508/03/ipt02.html


Sungguh ironis, sebagian besar peneliti Indonesia ternyata belum mampu bekerja optimal mencapai tujuan yang diinginkan.
Ini terjadi karena mereka melakukan riset dalam kondisi yang tidak kondusif dan kurang mendukung.


Banyak yang menganggap bahwa puncak kesuksesan penelitian pada era pemerintahan Habibie. Pemerintah melalui Departemen Riset dan Teknologi dinilai mampu mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas para peneliti serta produk teknologi. Padahal, jika kita mau menilai secara obyektif dan cermat, anggapan di atas tidak seluruhnya terbukti.
Pada era tersebut, dunia penelitian di Indonesia sebenarnya hanya mengalami euforia yang tidak rasional, ditambah lagi statement yang menyatakan Indonesia beralih dari negara agraris-bahari menjadi industri. Ini dapat dilihat dari sangat sedikitnya penelitian bergengsi yang telah dilakukan, yang mencerminkan rendahnya skill dan kualitas peneliti kita, serta dari output produk yang memprihatinkan, karena sedikitnya pihak asing yang mau menggunakan produk kita.


Pada dasarnya masalah paling krusial yang tengah dihadapi dunia penelitian di Indonesia adalah seperti uraian berikut ini:
Keterbatasan dana, sarana dan minimnya laporan penelitian (paper ilmiah).

Di lapangan peneliti kita selalu menjerit dalam masalah dana, termasuk sarana. Selanjutnya dapat ditebak, penelitian yang dilakukan tidak akan memberikan hasil yang optimal dan tidak dapat memenuhi tujuan awal penelitian tersebut.


Banyaknya institusi penelitian dan kurangnya sinergi.

Banyak institusi penelitian, sebagian diantaranya adalah: LIPI, BPPT, BRKP-DKP, Bakosurtanal, BATAN, LAPAN, Dishidros, Departemen Ristek, lembaga penelitian dan pusat kajian di tiap-tiap universitas negeri maupun swasta, namun lembaga-lembaga penelitian tersebut jarang melakukan koordinasi dan komunikasi. Akibatnya sering terjadi tumpang tindih penelitian, sehingga hanya berapa topik penelitian yang akhirnya dikerjakan dalam setahun. Selain itu, pengamat melihat sering terjadinya persaingan tidak sehat (biasanya dalam melakukan kerjasama dengan pihak asing yang nantinya akan menghasilkan dana) antar institusi penelitian.


Buruknya mental dan moral para peneliti.

Ini terlihat dari kondisi “research for money.” Mungkin bukan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi penelitian di Indonesia, namun masih ada sebagian peneliti yang meng-implementasikan kalimat tersebut. Peneliti seperti ini mementingkan research fee yang akan mereka terima karena namanya tercantum sebagai collaborator. Sedangkan untuk paper ilmiah (yang merupakan bahan publikasi) mereka cukup puas jika tertera sebagai penulis ke tiga, karena di benak mereka yang tersirat hanya untuk mendapatkan uang.


Banyak peneliti cerdas dan berprestasi yang enggan pulang.

Mereka diabaikan dan tidak mendapat tempat yang layak saat kembali ke Indonesia. Padahal, pada saat melakukan riset untuk menyelesaikan studi master dan doktor, banyak diantara mereka yang mendapat penghargaan, bahkan ditawarkan untuk bekerja di universitas atau negara tempat menimba ilmu tersebut. Mereka disini mendapat fasilitas yang tidak memadai, minimnya dana penelitian dan senioritasme yang masih mendarah daging.


Buruknya manajemen.

Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam dunia pendidikan adalah manajemen. Ini dapat dilihat dari buruknya perlakuan yang dilakukan pada prosedur kerjasama penelitian dengan negara asing. Bila kita telaah lebih jauh, akan kita dapati sembrono-nya sebagian para penentu kebijakan dan pembuat keputusan. Biasanya mereka tidak mau tahu prosedur yang akan disepakati hingga ke detailnya karena mereka menganggap itu hanya tetek-bengek yang tidak perlu.


Sekarang, tergantung pada penilaian akademisi, para pakar, termasuk juga politisi dan terutama masyarakat Indonesia untuk menyikapi apa yang salah disini. Akan tetapi perlu di ingat, masalah ini merupakan pekerjaan rumah kita bersama, maka seyogyanya kita bersama-sama pula memikirkan, menyelesaikan dan memperbaiki, sehingga tidak sampai terlontar anekdot yang menyatakan bahwa peneliti kita terjerembap di ”rumah sendiri”.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana, Program Studi Teknologi Kelautan IPB

Tidak ada komentar: