Senin, 14 April 2008

Rocker Gagal

Ada nggak ya?” tanya Toni sambil meratakan kertas pengumuman di papan. Pertanyaan inilah yang mendorong kami untuk menyelipkan pengumuman tersebut di mading tiap fakultas. “Pasti ada! Masa dari sekian ribu mahasiswa disini nggak ada yang berminat?” kata Richard. Aku mengangguk-angguk, “Pasti ada, ayo selesaikan!.” Richard benar, beberapa mahasiswa menemui kami, bahkan dari luar kampus, akhirnya inilah yang kami terima; agak kurus, kulit putih dengan pakaian kucel. “Willy, bassis otodidak, akutansi 92, apa nama band ini?” katanya di awal pertemuan.

Dua hari Festival Musik Rock se-kota Bandung akhir Desember 1996. Sepertinya akulah yang paling berambisi untuk memenangkan festival ini. “Kita harus menang! Setidaknya lima besar, band kita pasti terkenal!” Luapan semangatku didukung ketiga temanku. Dukungan setengah hati dari orang tuaku terhadap cita-citaku bermusik, membuat aku ingin sekali membuktikan bahwa mereka tidak perlu merasa sia-sia telah mengeluarkan banyak uang untuk kuliah yg aku jalani asal-asalan dan tidak serius, karena aku lebih memilih bermusik. Aku ingin orang tuaku melihat aku sukses, walaupun hanya di bidang musik.

Kami kerahkan seluruh kemampuan kami, Whole lotta love-nya Led Zeppelin, dan lagu ciptaan kami sendiri Long Revolution disambut meriah oleh penonton. Turun panggung, Toni menenteng Gibson Les Paul-nya, Richard menyelipkan kedua stick di pinggangnya, Willy kelihatan lebih tenang, aku masih mengatur napas, walaupun pakaian kami basah keringat tapi kami puas. Aku nyaris tidak percaya, dan teman-temanku berusaha keras menahan diri untuk meluapkan rasa bahagia, namun isakan bahagia Willy terlihat di bahunya yang bergerak turun naik, kami berpelukan erat karena Venceremos diumumkan sebagai pemenang II dan mendapat kesempatan untuk rekaman! lagu kami long revolution akan masuk dalam album kompilasi! Thanks God… ucapku berulang-ulang dalam hati.

* * *


Kami minum terlalu banyak, tapi kemenangan kami ini memang layak dirayakan. Dengan pandangan yang semakin kabur dan mulai berbayang-bayang, aku menoleh ke kanan melihat tubuh Richard sudah tergeletak dan ia mendengkur di sofa, sementara di depanku beralaskan karpet Toni dan Willy bermain play station sambil tertawa terbahak-bahak, mungkin mereka tidak tahu lagi tombol mana yang seharusnya di pencet, pikirku sekenanya. Party yang asik, gumamku. Semoga saja orang tua Richard tidak tahu apa yang kami lakukan saat ini jika mereka tiba esok sore dari Jakarta. Aku menarik napas panjang lalu dengan susah payah meraih gelas dan meneguk sampai habis sisa Vodka, masih ada beberapa botol lagi Vodka dan Red Label di atas meja.

Aku merasakan kedekatan Toni dan Willy semakin erat akhir-akhir ini. Toni salah satu sahabat dekatku sejak masuk kuliah, selain Richard tentunya. Permainan gitar Toni sungguh luar biasa, kami mempunyai mimpi yang sama di dunia musik. Bergabungnya Willy membuat mimpi kami semakin nyata, kurasa Willy adalah teman yang baik juga, dan kesempatan kami meniti karir di dunia musik semakin terbuka lebar. Kepalaku semakin berat dan mataku hampir terpejam saat sekilas aku melihat Toni dan Willy berjalan terhuyung meninggalkan ruang tamu. Eh, mau kemana mereka berdua ya, namun aku meyakinkan diri bahwa aku tidak perlu merasa iri melihat akrabnya mereka. Wooi.. party-nya di sini, ayo bantu aku menghabiskan minuman ini, tapi tidak ada suara yang keluar dari bibirku. Aku terlalu mabuk.

* * *


“Willy pergi dengan Toni tadi sore, mereka mau lihat gitar bas untuk Willy,” kakaknya memberikan jawaban yang tentu saja membuat aku maklum, “Terima kasih mbak,” sahutku malas sambil menutup telepon. “Tiga ratus” kata pemilik wartel. Aku pulang ke kost, mengunci pintu kamar, memandangi poster Robert Plant, kemudian “melayang” dengan beberapa linting ganja. Malam ini akan sangat panjang, karena anganku akan menerawang jauh sekali.

* * *


Aku ingin menghibur Willy, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Aku tak dapat berfikir, sementara dia masih saja menangis, sungguh tragis yang baru saja diceritakannya padaku. “Orang tuamu tahu?” akhirnya keluar juga suara dari mulutku. Dia cuma menggeleng. "Kakakmu?" tanyaku lagi. Dia kembali menggelang, nampak pucat dan lelah di wajahnya. “Bangsat kau Toni, pengecut” umpatku dalam hati sambil menahan amarah. “Sekarang kamu istirahat aja dulu ya, nanti akan kita pikirkan jalan keluarnya,” hanya itu saran yang dapat aku berikan padanya. Selama dia tidur di kamar kostku, hatiku masih terbakar amarah pada Toni. Bajingan, Pengecut! umpat hatiku entah yang keberapa puluh kalinya. ”Ohh..apa yang akan terjadi pada band kami ini, padahal proses rekaman tinggal beberapa hari lagi”, gumamku.

* * *


Anak ketigaku lahir dengan selamat di RSU Surabaya lima hari yang lalu, aku menamainya Indian Princes. Istriku berbaring sambil menyusui Indian di kamar tidur kami. Camelot dan Louis, putra pertama dan kedua kami saling berebut ingin paling dekat ke Indian,. “Papa dan mama jadi datang?” tiba-tiba istriku bertanya. “Ya, mungkin sore ini sampai. Kedua orang tuamu berangkat dari Pekanbaru tadi siang, tapi sayangnya ayahku tak bisa datang, tadi ibuku menelepon, ibuku sendirian akan datang besok pagi dari Jakarta” jawabku. Camelot keluar kamar, lalu masuk kembali dengan gitar plastik mainannya. “Mama, Camel mau mainin lagu untuk Indi. Lihat Pa, Camel sudah bisa” katanya sambil menarik-narik senar gitarnya. Aku dan istriku tersenyum.

* * *


Hampir enam tahun kami menetap di Surabaya, setelah menikah dan menyelesaikan kuliah aku tidak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik selama dua tahun di Bandung. Pernikahanku yang awalnya tidak direstui oleh orang tuaku dan susahnya mendapat pekerjaan bagi sarjana yang baru lulus, membuatku semakin berat menjalani tanggung jawab keluarga ini. Empat kali seminggu aku main di beberapa café yang lumayan terkenal, bernyanyi sambil memainkan gitar. Pekerjaan ini kuperoleh atas kebaikan seorang teman yang merekomendasikan aku kepada pemilik café-café tersebut. Hasil dari pekerjaanku ini cukup membiayai keluargaku, selain penghasilan dari warung kecil yang menyatu dengan rumah kami.

Aku masih sangat ingin merilis lagu, dan sangat menyesali bubarnya band kami, padahal rekaman album kompilasi hanya tinggal beberapa hari lagi tapi kami sudah keburu bubar. Aku juga merasa bersalah kepada Richard karena tidak pernah mau memberi jawaban yang sebenarnya jika dia bertanya mengapa kami harus bubar. Salah satu hal yang membuat aku masih tetap bersemangat main gitar dan bernyanyi hingga saat ini karena Camelot, yang baru duduk di kelas dua SD.

Hingga saat ini hanya aku dan istriku serta seseorang – entah dimana dia – yang tahu peristiwa sepuluh tahun yang lalu di kota Bandung. Aku yakin, sama seperti diriku, istriku juga pasti ingat seseorang yang matanya sangat mirip dengan Camelot.

Aku mencintai kalian lebih dari apapun, kataku dalam hati dan mengecup kening istriku sembari tangan kiriku merangkul Camelot. Lalu aku keluar dari kamar menuju ruang tamu, pandanganku terbentur pada tape di atas meja, kemudian tanganku meraih kaset album Kiss. Hard luck woman mengalun di ruang tamu. Aku teringat sesuatu, lalu berdiri meraih bekas kotak sepatu di atas lemari. Kubuka, masih ada beberapa sisa kaset demo lagu kami sepuluh tahun yang lalu. Kuambil satu, kubaca sampul kasetnya, nama band, judul lagu, empat nama dan tanggal tertera di sampul kaset tersebut; Venceremos, long revolution, Randy Subagdja, Antonio Nugroho, Richardus Budiman, Willyani Lestari, 23 Februari 1997.

Saat aku menoleh ke kamar, kulihat Willy masih menyusui Indian sambil membelai kepala Camelot yang memegang gitar plastiknya…

Dedicated to women who ever married by accident. Don’t ever give up! We love U.

- donwill panggabean -

chameleon.king@gmail.com

Tidak ada komentar: