Jumat, 11 April 2008

Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia Perlu Direvisi

untuk lebih jelasnya, lihat di: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0609/20/ipt01.html


Apa mau dikata, laut yang luas dan sumber daya ikan melimpah, tetapi hasil yang didapatkan oleh pelaku perikanan tangkap masih jauh dari cukup dan memprihatinkan.
P ada akhir 1996, atas inisiatif Bappenas terbentuklah Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut. Oleh komisi tersebut, perairan dan laut Indonesia untuk pemanfaatan sumber daya perikanan dibagi menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu (1) Selat Malaka; (2) Laut Cina Selatan; (3) Laut Jawa; (4) Laut Flores dan Selat Makassar; (5) Laut Banda; (6) Laut Arafura; (7) Laut Seram dan Teluk Tomini; (8) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik; dan (9) Samudera Hindia.


Pembagian WPP ini oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut lebih ditujukan untuk memudahkan sistem pendataan yang selanjutnya digunakan untuk estimasi (pendugaan) stok. Pembagian WPP ini lebih didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan.


Hal ini memiliki kelemahan, karena data yang didapat ternyata memiliki bias dan tidak akurat sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam estimasi. Ini ditambah lagi dengan illegal fishing oleh nelayan asing dan transaksi hasil tangkapan di tengah laut yang tentu saja semakin mengacaukan data stok sumber daya ikan tersebut. Jumlah pelabuhan perikanan masih jauh dari cukup, dan memiliki kesenjangan yang sangat besar antara kawasan barat dengan kawasan timur
Indonesia.


Contoh kerancuan, adanya anggapan WPP Laut Jawa memiliki produksi tuna yang tinggi, padahal tuna tersebut sebenarnya berasal dari Samudra Hindia dan Samudera Pasifik (utara Papua). Tuna tersebut seakan-akan berasal dari Laut Jawa karena didaratkan di Pelabuhan Muara Baru
Jakarta, yang termasuk dalam WPP Laut Jawa.

Kendala Perikanan
Di perairan
Indonesia terdapat empat spesies utama ikan tuna, yaitu Yellow fin tuna (Thunnus albacora), Big eye tuna (Thunnus obesus), Albacore (Thunnus alalunga), dan Southern blue fin tuna (Thunnus maccoyii). Perairan barat Samudera Pasifik (termasuk di dalamnya perairan utara Papua) merupakan kawasan yang memiliki kelimpahan ikan tuna tertinggi, yaitu mencapai 70% stok ikan tuna dunia.


Pada perairan Samudera Hindia (termasuk di dalamnya perairan barat Sumatera, selatan Jawa,
Bali, NTB, dan NTT) juga merupakan perairan dengan populasi tuna cukup tinggi. Yellow fin tuna, Albacore, dan Big eye tuna melakukan pembesaran (nursery) di perairan Indonesia, tetapi Southern blue fin tuna hanya bertelur (spawning) di perairan selatan Jawa. Ikan tuna yang masuk ke perairan Indonesia diperkirakan mencapai 50% dari total populasi yang ada.


Pemanfaatan sumber daya perikanan dihadapkan pada beberapa kendala yang cukup serius, di antaranya (1) sumber daya ikan bersifat tidak terlihat, (2) milik bersama, (3) berisiko tinggi, dan (4) mudah rusak.


Sumber daya ikan tidak tampak secara langsung oleh mata manusia (invisible), karena habitat ikan dan manusia berbeda. Namun, perbedaan media (habitat) ini dapat diantisipasi dengan mempelajari tingkah laku ikan (fish behaviour) yang akan ditangkap serta memperdalam pemahaman penggunaan alat bantu pendeteksi keberadaan ikan (echosounder, fish finder, dan sonar). Maka, pengetahuan tentang tingkah laku ikan perlu ditingkatkan, sehingga nantinya dapat menghemat biaya operasional.


Perairan dan laut yang merupakan habitat bagi ikan adalah milik umum (common property), perairan dan laut tersebut tidak mungkin dikaveling seperti halnya daratan, sehingga siapapun dapat memanfaatkan sumber daya ikan yang ada.
Akan tetapi, perebutan lokasi penangkapan ikan yang potensial dapat saja terjadi. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan dan atau undang-undang untuk mengatasinya.


Usaha penangkapan ikan merupakan usaha yang berisiko tinggi (high risk), karena dilakukan di laut dengan kondisi yang sulit dikontrol. Untuk mengurangi risiko kerja dan agar hasil tangkapan yang diperoleh sesuai dengan harapan, pengetahuan tentang teknologi penangkapan dan keselamatan kerja di atas kapal sangat diperlukan.


Komoditas ikan merupakan produk yang cepat rusak (highly perishable), untuk menjaga agar mutu dapat dipertahankan, pascapanen perlu mendapatkan perlakuan yang serius. Perlu pertimbangan yang matang untuk mengantisipasi jarak antara lokasi penangkapan (fishing ground) dengan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) ataupun pelabuhan perikanan.

Revisi
Sebagaimana kita ketahui, pada umumnya nelayan di Indonesia masih bersifat tradisional dengan jumlah dan kondisi armada penangkapan yang kurang mendukung, di antaranya tidak tersedianya mesin penghasil es untuk pendingin ikan hasil tangkapan pada kapal penangkapan.
Apabila jarak lokasi penangkapan dengan TPI atau pelabuhan perikanan terlalu jauh, nelayan akan mengalami kerugian besar atas ikan tuna hasil tangkapan karena ikan tuna tersebut akan busuk.


Dari paparan di atas, perlu kiranya tindak lanjut pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan beserta dukungan instansi terkait lainnya untuk mengkaji ulang WPP laut Indonesia serta menambah jumlah pelabuhan perikanan khususnya di kawasan timur Indonesia. WPP laut Indonesia sebaiknya direvisi dan ditingkatkan jumlahnya menjadi 11, terutama untuk WPP 9 yang memiliki area terlalu luas dengan jumlah pelabuhan tidak merata.

Tidak ada komentar: